TRABASNEWS – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah tajam. Pada perdagangan Selasa pagi (8/4/2025), rupiah dibuka pada posisi Rp16.850 per dolar AS, terdepresiasi sekitar 1,78% dibandingkan penutupan sebelumnya.
Level tersebut merupakan rekor terburuk rupiah secara intraday, bahkan melampaui posisi krisis moneter 1998 yang saat itu sempat menyentuh Rp16.800 per dolar AS. Pelemahan ini menunjukkan tekanan besar yang dialami rupiah, terutama dari faktor eksternal.
Berikut tiga penyebab utama pelemahan tajam rupiah:
- Kebijakan Tarif AS Kembali Jadi Momok
Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali memberlakukan kebijakan tarif impor yang memicu kekhawatiran global. Semua produk impor dikenai bea masuk minimum 10%, dan sejumlah negara – termasuk Indonesia – terkena dampak lebih besar.
Indonesia disebut menjadi salah satu negara dengan potensi dampak signifikan, karena masuk dalam daftar penyumbang defisit dagang AS. Produk dari Indonesia diperkirakan dikenakan tarif balasan sebesar 32%.
Kebijakan ini memicu kekhawatiran investor terhadap ketidakpastian global, sehingga mendorong mereka menarik investasi dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, nilai tukar rupiah pun tertekan.
- Surplus Dagang Menyempit, Dolar AS Jadi Langka
Menurut analisis dari Bahana Sekuritas, penerapan tarif baru AS berpotensi menurunkan surplus perdagangan bulanan Indonesia dari sekitar US$3 miliar menjadi hanya US$700–900 juta. Penurunan surplus ini akan berdampak pada ketersediaan dolar di pasar domestik.
Dengan pasokan dolar yang makin terbatas, tekanan terhadap rupiah pun meningkat. Selain itu, defisit transaksi berjalan Indonesia tahun ini diperkirakan melebar hingga 0,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas atas target Bank Indonesia yang berada di kisaran 0,5–1,3%.
- Ancaman Resesi AS Timbulkan Efek Domino Global
Risiko resesi di Amerika Serikat juga menjadi salah satu pemicu utama kepanikan di pasar keuangan global. JPMorgan, dalam laporan terbarunya, memperkirakan kemungkinan resesi global meningkat dari 40% menjadi 60%.
Lembaga lainnya seperti S&P Global, Barclays, hingga UBS juga menyuarakan kekhawatiran serupa, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang stagnan bahkan bisa menyusut. Jika resesi benar-benar terjadi, negara berkembang seperti Indonesia akan terkena dampak tidak langsung.
Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman di tengah ketidakpastian global, seperti dolar AS atau obligasi pemerintah AS. Alhasil, terjadi arus modal keluar dari pasar negara berkembang yang turut menekan rupiah.
Kesimpulan
Pelemahan tajam rupiah hingga menyentuh Rp16.850 per dolar AS bukan hanya disebabkan oleh faktor domestik, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika eksternal. Ketidakpastian kebijakan perdagangan AS, potensi penyusutan surplus dagang, dan ancaman resesi global menjadi kombinasi yang memberi tekanan berat pada stabilitas nilai tukar Indonesia.
Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan mampu merespons dengan kebijakan yang tepat untuk menjaga kestabilan pasar dan memitigasi dampak dari gejolak eksternal tersebut.
Sumber: CNBC