TRABASNEWS — Nama hakim Djuyamto menjadi sorotan publik usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas perkara ekspor crude palm oil (CPO). Meski memiliki penghasilan bulanan yang terbilang tinggi, yakni sekitar Rp 34,8 juta, Djuyamto tetap tergiur menerima suap dengan nilai fantastis mencapai Rp 7,5 miliar.
Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini diduga menerima suap bersama dua hakim lainnya. Kasus ini menyeret sejumlah pihak besar, termasuk tiga perusahaan raksasa: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Uang tersebut disalurkan melalui dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri, yang kini juga ikut dijerat hukum.
Karier Panjang dan Profil Singkat
Djuyamto dikenal sebagai hakim senior yang memiliki latar belakang akademik kuat. Ia lahir di Sukoharjo, 18 Desember 1967, dan menyelesaikan pendidikan S1 hingga S3 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS). Disertasinya yang berjudul “Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif” dipertahankan pada Januari 2025.
Karier kehakimannya dimulai pada tahun 2002 di PN Tanjungpandan. Ia pernah bertugas di berbagai pengadilan negeri seperti Temanggung, Karawang, Dompu, Bekasi, Jakarta Utara, dan terakhir Jakarta Selatan. Djuyamto juga sempat menjadi Asisten Hakim Agung di Mahkamah Agung RI serta aktif di Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
Namanya pernah mencuat saat menjadi Ketua Majelis Hakim dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, pada tahun 2020. Saat itu, Djuyamto menjatuhkan vonis dua tahun dan satu setengah tahun kepada pelaku.
Ia juga pernah menjadi hakim tunggal dalam permohonan praperadilan yang diajukan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto melawan KPK.
Harta Kekayaan Melimpah
Berdasarkan data LHKPN terakhir yang dilaporkannya, Djuyamto tercatat memiliki total kekayaan mencapai Rp 2,9 miliar. Kekayaan tersebut terdiri dari:
Tanah dan bangunan senilai Rp 2,45 miliar, tersebar di Karanganyar dan Sukoharjo.
Kendaraan pribadi seperti Honda Beat, Vespa, dan Toyota Innova Reborn, dengan nilai total Rp 401 juta.
Harta bergerak lain: Rp 90,5 juta
Uang tunai dan setara kas: Rp 168 juta
Harta lainnya: Rp 60 juta
Utang: Rp 250 juta
Meski memiliki aset yang cukup besar dan posisi strategis dalam dunia kehakiman, keterlibatannya dalam praktik suap menjadi ironi tersendiri, terutama di tengah upaya penegakan hukum yang bersih dan transparan.
Kasus ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan menjadi bukti bahwa integritas di lembaga peradilan masih menghadapi tantangan serius.