Trabasnews – Pemerintah Indonesia berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal 2025. Kebijakan ini menuai berbagai pandangan, salah satunya dari Arin Setyowati, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya).
Arin menilai kebijakan tersebut dapat berdampak signifikan terhadap konsumsi, investasi, dan stabilitas ekonomi nasional.
Menurut Arin, kenaikan PPN akan langsung mempengaruhi harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli masyarakat.
“Bagi ekonomi rumah tangga, kenaikan PPN di angka 12% akan langsung meningkatkan harga barang dan jasa. Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 55%-60% terhadap PDB, tentu kenaikan harga dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama dari kelas bawah,” ujar Arin.
Arin menambahkan, penurunan daya beli ini dapat mengurangi permintaan barang dan jasa secara keseluruhan, yang berpotensi memperburuk kondisi ekonomi, terutama bagi pekerja informal yang sangat bergantung pada daya beli lokal.
Masyarakat dengan pendapatan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk konsumsi, akan paling merasakan dampaknya.
“Hal ini bisa memperburuk kesenjangan sosial jika tidak diimbangi dengan subsidi atau bantuan langsung tunai,” tegas Arin.
Selain dampak pada rumah tangga, Arin juga menyoroti potensi tekanan pada sektor usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang sangat sensitif terhadap kenaikan biaya.
“Kenaikan tarif PPN akan menambah beban pajak dan mengurangi margin keuntungan perusahaan, terutama UMKM. Jika banyak perusahaan, terutama di sektor ritel, manufaktur, hingga UMKM mengalami penurunan pendapatan, mereka mungkin akan melakukan efisiensi, pengurangan produksi, bahkan menutup usaha,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Arin memperingatkan bahwa untuk menjaga profitabilitas, banyak perusahaan bisa mengambil langkah-langkah seperti pengurangan jam kerja, moratorium rekrutmen, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sektor informal, yang mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia, akan lebih rentan terkena dampak dari kebijakan ini, berisiko mengalami penurunan lapangan pekerjaan dan meningkatnya angka pengangguran.
Kenaikan PPN juga berpotensi mendorong inflasi berbasis cost-push, terutama pada barang kebutuhan pokok yang tidak termasuk dalam kategori bebas PPN.
Arin mengungkapkan, meskipun dampak inflasi dapat diminimalkan melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi, risiko kontraksi ekonomi tetap harus diwaspadai. Ia mencontohkan bahwa kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada April 2022 telah menyebabkan inflasi sebesar 0,95%.
“Artinya, dampak tersebut perlu menjadi early warning bagi pengambilan kebijakan mendatang,” ujarnya.
Untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan ini, Arin mengusulkan beberapa strategi. Pemerintah perlu memberikan perlindungan bagi kelompok rentan melalui bantuan sosial dan jaring pengaman sosial.
Selain itu, pengurangan beban pajak lainnya juga perlu dipertimbangkan sebagai langkah penyeimbang. Dana tambahan dari kenaikan PPN sebaiknya dialokasikan untuk sektor-sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
“Selanjutnya, pemerintah harus lebih fokus pada reformasi pajak yang lebih luas untuk menjaga keberlanjutan ekonomi,” pungkasnya.
Berbagai sumber