TRABASNEWS – Rencana Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk menerapkan sistem sekolah lima hari bagi jenjang SMA, SMK, dan SLB menuai tanggapan kritis dari berbagai pihak. Kebijakan ini disebut-sebut belum dikaji secara menyeluruh dan minim pelibatan pemangku kepentingan.
Anggota Komisi E DPRD Sumut, Fajri Akbar, mengungkapkan bahwa pihak legislatif belum pernah diajak berdiskusi terkait kebijakan tersebut. Ia menilai keputusan ini seharusnya dirumuskan melalui musyawarah bersama dengan DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah.
“Belum ada pembahasan resmi di tingkat komisi. Ini baru sebatas pendapat pribadi anggota. Tapi kami akan memanggil Dinas Pendidikan Sumut untuk meminta penjelasan,” kata Fajri saat dihubungi, Sabtu (7/6/2025).
Fajri juga menyoroti kecenderungan Pemprov Sumut yang kerap mengambil keputusan tanpa koordinasi dengan DPRD. Ia menegaskan bahwa proses legislasi dan pengambilan kebijakan semestinya transparan dan melibatkan semua pihak.
Pemerintah daerah beralasan, sistem sekolah lima hari dapat menekan angka kenakalan remaja, termasuk tawuran, penggunaan narkoba, serta aktivitas geng motor. Sabtu dan Minggu akan difungsikan sebagai hari keluarga untuk meningkatkan kualitas interaksi di rumah.
Namun Fajri menyangsikan efektivitas pendekatan tersebut. “Kalau soal kualitas pendidikan, yang terpenting bukan soal jumlah hari, tapi bagaimana proses belajarnya. Di banyak negara lain, fokusnya justru pada metode dan efektivitas pembelajaran, bukan pada lamanya waktu belajar di sekolah,” jelasnya.
Pandangan Akademisi: Perlu Kajian Ilmiah Komprehensif
Sikap serupa disampaikan oleh akademisi Universitas Negeri Medan (UNIMED), Dr. Bakhrul Khair Amal, yang menilai kebijakan tersebut sebaiknya ditopang dengan dasar ilmiah berupa naskah akademik dan hasil kajian multidisiplin.
“Apakah sudah ada penelitian atau survei yang memotret pandangan siswa, guru, dan orangtua sebelum kebijakan ini dirancang? Ini sangat penting, agar keputusan diambil berdasarkan bukti, bukan asumsi,” ujar Bakhrul, Rabu (4/6/2025).
Menurutnya, penambahan jam belajar dalam sehari justru bisa menurunkan kualitas pembelajaran karena siswa akan kelelahan. Ia menilai bahwa mengaitkan sistem lima hari sekolah dengan pencegahan geng motor tidak memiliki korelasi langsung.
Orangtua Menolak: Tambah Beban Fisik dan Ekonomi
Sejumlah orangtua siswa turut menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Ferdinand (51), warga Medan Tuntungan, menilai bahwa waktu luang pada akhir pekan belum tentu dimanfaatkan secara produktif oleh siswa.
“Anak sekolah bukan pegawai negeri yang butuh dua hari libur. Kalau libur dua hari, apa yang mereka lakukan di rumah? Saya rasa ini bukan solusi yang tepat,” kata Ferdinand.
Sementara itu, Amorta (50), orangtua siswa asal Medan Area, menyoroti dampak ekonomi dari jam belajar yang lebih panjang. “Kalau anak pulang lebih sore, otomatis uang makan dan jajan bertambah. Padahal ekonomi keluarga sedang sulit,” ujarnya. Ia juga menilai bahwa mendisiplinkan siswa bukan soal durasi sekolah, melainkan kualitas pendidikan yang diberikan.
Penjelasan Dinas Pendidikan
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Alexander Sinulingga, menyatakan bahwa kebijakan sekolah lima hari masih dalam tahap penyusunan kajian teknis. Kebijakan ini nantinya akan dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub).
“Konsepnya, sekolah berlangsung dari Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu libur, tapi tentu akan ada penyesuaian durasi belajar pada hari aktif,” jelas Alex.
Ia menambahkan, waktu luang di akhir pekan diharapkan dapat memperkuat interaksi antara siswa dan keluarga, sekaligus menjadi salah satu strategi menekan kriminalitas remaja di Sumatera Utara.
“Kita ingin anak-anak lebih banyak waktu dengan keluarga. Ini juga bagian dari komitmen Gubernur untuk mengurangi tawuran dan masalah sosial lainnya di kalangan pelajar,” tutup Alex.
Sumber: Kompas